Tampilkan postingan dengan label MAJAPAHIT. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label MAJAPAHIT. Tampilkan semua postingan

CANDI SUKUH DALAM KACAMATA TANTU PANGGELARAN (1)

BUNGA MAJAPAHIT. Tulisan tentang Candi Sukuh dalam kacamata Tantu Panggelaran ini akan mencoba melakukan kajian terhadap Candi Sukuh dengan mempergunakan referensi Kitab Tantu Panggelaran yang lebih banyak berkisah tentang awal mula terjadinya pulau Jawa, awal mula penciptaan manusia dan peradaban yang ada di pulau Jawa. Artikel ini dituliskan berdasarkan artikel sahabat blogger tentang Candi Sukuh, candi yang tertua di Pulau Jawa.

Analisis Kitab Tantu Panggelaran.
Kitab Tantu Panggelaran adalah sebuah teks prosa yang menceritakan tentang kisah penciptaan manusia di pulau Jawa dengan segala aturan yang harus ditaati manusia (manusia Jawa). Tantu Panggelaran ditulis dalam bahasa Jawa Pertengahan pada zaman Majapahit. Suntingan teks yang sangat penting telah terbit pada tahun 1924 di Leiden oleh Dr. Th. Pigeaud.

Kitab Tantu Panggelaran ini berisi tentang etiologi alam semesta. Tantu Panggelaran ditulis untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan etiologis, misalnya, mengapa ada gempa bumi, mengapa ada gerhana matahari, mengapa ada gunung-gunung yang tersebar di pulau Jawa, mengapa ada manusia di pulau Jawa, mengapa ada biji hijau, hitam, putih, tetapi tidak ada biji kuning, mengapa ada bahasa, mengapa manusia membuat rumah, pakaian, dan sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan etiologis ini dijawab dalam cerita Tantu Panggelaran.

Cerita yang menjawab tentang pertanyaan-pertanyaan etiologis ini banyak terdapat pula dalam dunia oriental kuna. Contoh yang paling mudah didapat adalah di dalam kitab suci umat Kristen (Injil/Alkitab). Di sana diceritakan juga, bahwa manusia dibuat dari tanah liat dan menurut rupa Tuhan, manusia semula berbahasa satu dan berkumpul bersama di Babel untuk membangun menara, dan kemudian menyebar ke seluruh penjuru bumi.

Selain itu cerita ini (dalam Kitab Tantu Panggelaran) mementingkan proses pengaturan alam semesta, dari dunia yang khaos menjadi dunia yang teratur (kosmos). Hal ini juga dapat ditemui dalam cerita-cerita orientalis kuna. Para Dewa sangat menghargai dunia yang teratur. Motif ini dapat dijumpai pula dalam cerita-cerita Yunani kuna sampai cerita-cerita India.

Dalam Tantu Panggelaran juga terdapat motif "pembangunan masyarakat beradab" atau cerita etiologis tentang munculnya peradaban manusia. Hal ini juga dapat dibandingkan dengan Kodex Hammurabi di Babilonia yang berisi hukum-hukum bagi keteraturan masyarakat setempat.

Di samping itu terdapat perbedaan teologis antara cerita Jawa Pertengahan ini dengan teologi Hindu di India. Di dalam kisah ini diceritakan bahwa Bhatara Guru adalah ayah dari dewa-dewa yang lainnya. Gunung menjadi tempat yang keramat, tempat para dewa. Motif ini juga terdapat dalam dunia teologis orientalis, contohnya : Ishak dipersembahkan di gunung Moria (Yerusalem). Zarathustra atau Zoroaster ketika berkotbah juga naik ke gunung. Firaun membuat piramida yang juga melambangkan gunung. Agama masyarakat Indonesia kuna juga membuat punden berundak-undak yang juga melambangkan gunung dan sebagainya.

Singkat kata, Kitab Tantu Panggelaran ini adalah sebuah produk bagian dari orientalis Jawa kuna. Hal ini adalah sebuah hipotesis yang dapat diuji ulang.

Candi Sukuh di Jawa Tengah.
Candi Sukuh adalah sebuah kompleks candi agama Hindu yang secara administratif terletak di wilayah kelurahan Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, eks Karesidenan Surakarta, Jawa Tengah. Candi ini dikategorikan sebagai candi Hindu karena ditemukannya obyek pemujaan yang berbentuk lingga dan yoni. Candi ini digolongkan sebagai candi yang kontroversial (menurut kacamata orang awam) karena bentuknya yang kurang lazim dan karena banyaknya obyek-obyek lingga dan yoni yang melambangkan seksualitas. Candi Sukuh telah diusulkan ke UNESCO untuk menjadi salah satu Situs Warisan Dunia sejak tahun 1995.

Bunga Majapahit
Candi Sukuh di Jawa Tengah

Sejarah singkat penemuan.
Situs candi Sukuh dilaporkan pertama kali pada masa pemerintahan Britania Raya di tanah Jawa pada tahun 1815 oleh Johnson, Residen Surakarta. Johnson kala itu ditugasi oleh Thomas Stanford Raffles untuk mengumpulkan data-data guna menulis bukunya The History of Java. Setelah masa pemerintahan Britania Raya berlalu, pada tahun 1842, Van der Vlis, arkeolog Belanda, melakukan penelitian. Pemugaran pertama dimulai pada tahun 1928.

Lokasi Candi Sukuh.
Lokasi candi Sukuh terletak di lereng kaki Gunung Lawu pada ketinggian kurang lebih 1.186 meter di atas permukaan laut pada koordinat 07o37, 38’ 85’’ Lintang Selatan dan 111o07,. 52’65’’ Bujur Barat. Candi ini terletak di Dukuh Berjo, Desa Sukuh, kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Candi ini berjarak kurang lebih 20 kilometer dari kota Karanganyar dan 36 kilometer dari Surakarta.

Struktur bangunan Candi.
Bangunan candi Sukuh memberikan kesan kesederhanaan yang mencolok pada para pengunjung. Kesan yang didapatkan dari candi ini sungguh berbeda dengan yang didapatkan dari candi-candi besar di Jawa Tengah lainnya semacam Candi Borobudur dan Candi Prambanan. Bentuk bangunan candi Sukuh cenderung mirip dengan peninggalan budaya Maya di Meksiko atau peninggalan budaya Inca di Peru. Struktur ini juga mengingatkan para pengunjung akan bentuk-bentuk piramida di Mesir.

Kesan kesederhanaan ini menarik perhatian arkeolog termashyur Belanda, W.F. Stutterheim, pada tahun 1930. Ia mencoba menjelaskannya dengan memberikan tiga argumen. Pertama, kemungkinan pemahat Candi Sukuh bukan seorang tukang batu melainkan tukang kayu dari desa dan bukan dari kalangan keraton. Kedua, candi dibuat dengan agak tergesa-gesa sehingga kurang rapi. Ketiga, keadaan politik kala itu dengan menjelang keruntuhan Majapahit, tidak memungkinkan untuk membuat candi yang besar dan megah.

Pendapat W.F. Stutterheim ini tidak sepenuhnya benar, ia dalam hal ini jelas-jelas tidak menguasai isi dari Kitab Tantu Panggelaran yang pada dasarnya menjadi inspirasi pembuatan candi Sukuh itu sendiri, baiklah dalam tulisan berikutnya akan penulis bahas tentang hal ini.

Bunga Majapahit
Denah lengkap Candi Sukuh di Jawa Tengah

(Bersambung .......... ke bagian kedua)

CANDI SUKUH DALAM KACAMATA TANTU PANGGELARAN (2)

BUNGA MAJAPAHIT. Dalam bagian yang pertama telah diuraikan secara umum tentang Kitab Tantu Panggelaran maupun Candi Sukuh. Selanjutnya dalam artikel ini dan artikel-artikel yang berikutnya akan diuraikan tentang Candi Sukuh dalam kacamata pandang Kitab Tantu Panggelaran.
Sebagaimana bagian yang pertama, bagian kedua dan selanjutnya ini terinspirasi dari artikel sahabat blogger yang berjudul Candi Sukuh candi yang tertua di pulau Jawa.

Asal mula terciptanya Pulau Jawa.
Kitab Tantu Pagelaran atau Tangtu Panggelaran adalah kitab Jawa kuno berbahasa Kawi yang berasal dari masa Majapahit sekitar abad ke-15. Kitab ini berkisah tentang mitos asal mula pulau Jawa.

Dalam kitab ini dikisahkan Bhatara Guru (Shiwa) memerintahkan Bhatara Brahma dan Wishnu untuk mengisi pulau Jawa dengan manusia. Karena pulau Jawa pada saat itu masih mengambang di lautan luas, terombang-ambing, dan senantiasa berguncang, maka para Bhatara memutuskan untuk memakukan Pulau Jawa dengan cara memindahkan Gunung Mahameru di India ke atas Pulau Jawa.

Bunga Majapahit
Candi Utama dari candi Sukuh melambangkan Gunung Mahameru

Bunga Majapahit
Candi Perwara di depan candi utama melambangkan gunung Pawitra

Bhatara Wisnu menjelma menjadi seekor kura-kura raksasa menggendong gunung itu dipunggungnya, sementara Bhatara Brahma menjelma menjadi ular naga raksasa yang membelitkan tubuhnya pada gunung dan badan kura-kura sehingga gunung itu dapat diangkut dengan aman.

Bunga Majapahit

Bhatara Brahma dan Bhatara Wishnu meletakkan gunung itu di atas bagian pertama pulau yang mereka temui, yaitu di bagian Barat pulau Jawa. Tetapi berat gunung itu mengakibatkan ujung pulau bagian Timur terangkat ke atas. Kemudian mereka memindahkannya ke bagian Timur pulau Jawa. Ketika gunung Meru dibawa ke Timur, serpihan gunung yang tercecer menciptakan jajaran pegunungan di pulau Jawa yang memanjang dari Barat ke Timur. Akan tetapi meskipun puncak Meru telah dipindahkan ke Timur, pulau Jawa masih tetap miring, sehingga para Bhatara memutuskan untuk memotong sebagian dari gunung itu dan menempatkannya di bagian Barat Laut. Penggalan ini membentuk Gunung Pawitra, yang sekarang dikenal dengan nama Gunung Penanggungan, dan bagian utama dari Gunung Meru, tempat bersemayam Bhatara Shiwa, sekarang dikenal dengan nama Gunung Semeru.

Sedikit penjelasan tentang gunung Pawitra (gunung Penanggungan), bila kita cermati, di bagian lereng-lereng gunung Penanggungan ini banyak tersebar candi-candi kecil yang membawa kita kepada suatu kesimpulan bahwa gunung Penanggungan ini dianggap sebagai gunung yang suci oleh masyarakat Jawa Kuno. Salah satu candi yang masih bagus adalah dikenal dengan nama Candi Kendalisodo seperti gambar di bawah ini.

Bunga Majapahit
Candi Kendalisodo dan goa pertapaan

Bunga Majapahit
Candi Lurah di lereng gunung Penanggungan

Tidak kurang dari 80 buah candi kecil-kecil dapat kita ketemukan di lereng gunung Pawitra (gunung Penanggungan) ini.

Kisah tentang penciptaan Manusia Jawa.

Setelah pulau Jawa tidak lagi bergoncang, Bhatara Guru ingin membuat manusia sebagai penghuni pulau Jawa. Untuk itu dia memerintahkan Bhatara Brahma dan Bhatara Wishnu menciptakan manusia. Mereka menciptakan manusia dari tanah yang dikepal-kepal lalu dibentuk manusia berdasarkan rupa dewa. Brahma menciptakan manusia laki-laki dan Wishnu menciptakan manusia perempuan, yang kemudian kedua manusia ciptaan para Bhatara tersebut dipertemukan dan mereka hidup saling mengasihi.

Bunga Majapahit


Demikianlah uraian tentang terciptanya pulau Jawa dan manusia pertama yang menghuni tanah Jawa, semoga bermanfaat.


(bersambung ........... ke bagian ketiga)

CANDI SUKUH DALAM KACAMATA TANTU PANGGELARAN (3)

BUNGA MAJAPAHIT. Dalam bagian yang kedua telah dikisahkan tentang penciptaan manusia Jawa untuk yang pertama kalinya, dalam bagian ketiga ini akan dikisahkan tentang munculnya peradaban manusia Jawa untuk yang pertama kalinya.

Proses terjadinya Peradaban Manusia di tanah Jawa (menurut Tantu Panggelaran).

Pada mulanya manusia (Jawa) telanjang karena tidak dapat membuat pakaian, tidak tinggal di dalam rumah, tidak dapat berbicara, oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa manusia pertama yang tinggal di pulau Jawa tidak mempunyai peradaban. Untuk itu para dewa diberi tugas oleh Bhatara Guru untuk "memberi pelajaran" kepada manusia, supaya mereka dapat membuat pakaian, membuat rumah, dapat berbicara antara satu sama lainnya. Pada intinya para bhatara mengajar manusia Jawa tentang budaya dan peradaban. 

Bunga Majapahit
Gambaran manusia Jawa pertama belum mengenal peradaban

Perikop yang dikutip dari kitab Tantu Panggelaran untuk Babak ini adalah :

Demikianlah kata Bhatara Mahakarana (istilah lain dari Bhatara Guru):

Anakku, Brahma, turunlah engkau ke Pulau Jawa. Pertajamlah benda-benda tajam, misalnya: panah, parang, pahat, pantek, kapak, beliung, segala pekerjaan manusia. Engkau akan disebut pandai-besi. Engkau akan mempertajam benda-benda tajam itu di tempat yang bernama Winduprakasa. Ibu jari (kw. empu) kedua kakimu mengapit dan menggembleng, besi anak panah dikikir. Panah itu menjadi tajam oleh ibu jari kedua kaki, maka dari itu engkau akan disebut Empu Sujiwana sebagai pandai-besi, karena ibu jari/empu dari kakimu mempertajam besi. Oleh karena itu, tukang pandai-besi disebut empu, karena ibu jari kakinya menjadi alat bekerja. Demikianlah pesanku kepada anakku.

Bunga Majapahit

Lagi pesanku kepada anakku Wiswakarmma. Turunlah ke Pulau Jawa membuat rumah, biar dirimu ditiru oleh manusia. Sebab itu, engkau dinamai Hundahagi (membangun).

Adapun engkau Iswara. Turunlah ke Pulau Jawa. Ajarlah manusia ajaran berkata-kata dengan bahasa, apalagi ajaran tentang Dasasila (sepuluh hal yang utama) dan Pancasiksa (lima hukum/tata tertib). Engkau menjadi guru dari kepala-kepala desa, sehingga engkau dinamai Guru Desa di Pulau Jawa.

Bunga Majapahit
Bhatara Iswara yang mengajarkan Dasasila dan Pancasiksa

Adapun engkau Wishnu. Turunlah engkau ke Pulau Jawa. Biarlah segala perintahmu dituruti oleh manusia. Segala tingkah lakumu ditiru oleh manusia. Engkau adalah guru manusia, hendaknya engkau menguasai bumi.

Bunga Majapahit

Adapun engkau Mahadewa, turunlah engkau ke Pulau Jawa. Hendaknya engkau menjadi tukang pandai emas dan pembuat pakaian manusia.

Bunga Majapahit

Bhagawan Ciptagupta hendaknya melukis dan mewarnai perhiasan, serta membuat hiasan yang serupa dengan ciptaan, menggunakan alat ibu jari tanganmu. Oleh karena itu engkau akan dinamai Empu Ciptangkara sebagai pelukis.

Bunga Majapahit
Bhagawan Ciptagupta yang melukis menggunakan ibu jari tangan

Demikianlah kisah tentang munculnya peradaban di tanah Jawa untuk yang pertama kalinya, semoga bermanfaat.


(Selesai)

Dengan telah selesainya artikel tentang Candi Sukuh dalam kacamata Tantu Panggelaran ini diharapkan dapat membuka wawasan baru bagi masyarakat Jawa dalam memaknai Candi Sukuh secara lebih obyektif.

PENDIRIAN KERAJAAN MAJAPAHIT

Setelah raja Kertanegara gugur, Singhasari berada di bawah kekuasaan raja Kadiri Jayakatwang dan berakhirlah riwayat kerajaan Singhasari. Salah seorang keturunan penguasa/bangsawan Singhasari yaitu Wijaya, kemusian berusaha untuk dapat merebut kembali kekuasaan nenek moyangnya dari tangan raja Jayakatwang. Beliau (Wijaya) adalah putera Dyah Lembu Tal, cucu Mahisa Campaka atau Narasinghamurti. Jadi beliau masih keturunan Ken Angrok dan Ken Dedes secara langsung. Dari sisi geneologinya, Wijaya masih keponakan raja Kertanegara, bahkan beliau diambil sebagai menantu oleh raja Kertanegara serta dinikahkan dengan puterinya. Sumber kesusasteraan yaitu Kitab Pararaton dan beberapa Kidung lainnya menyebutkan bahwa beliau menikah dengan dua orang puteri raja, sedang sumber prasasti dan Kakawin (kitab) Negarakertagama menyebutkan beliau menikahi empat orang puteri raja Kertanegara (prasasti Sukamrta lempeng IIa dan IIb).


Pada saat pasukan Jayakatwang dari Kadiri menyerang Singhasari, Wijaya ditunjuk oleh raja Kertanegara untuk memimpin pasukan Singhasari melawan pasukan Kadiri yang datang dari sebelah Utara. Kisah pertempuran antara pasukan Wijaya melawan pasukan Kadiri dapat disarikan dari prasasti (piagam) Kudadu, satu di antara sejumlah kecil prasasti yang memberikan cerita sejarah secara panjang lebar dalam bagian samabandha-nya. Kisah pertempuran ini terdapat pula dalam Kitab Pararaton, Kidung Harsa-Wijaya dan Kidung Panji Wijayakrama dengan perbedaan dalam detil jika dibandingkan dengan keterangan dalam prasasti Kudadu.

Prasasti Kudadu ini berangka tahun 1216 Saka (11 September 1294), dikeluarkan oleh Kertarajasa Jayawarddhana (Wijaya) dalam rangka memperingati pemberian anugerah kepada pejabat desa (rama) di Kudadu, yang berupa penetapan desa Kudadu menjadi daerah swatantra. Dengan penetapan ini, maka desa Kudadu tidak lagi merupakan tanah ansa bagi Sang Hyang Dharmma di Kleme. Sebab muasal desa Kudadu memperoleh penghargaan/anugerah raja ialah karena desa ini (Kudadu) telah berjasa memberikan perlindungan dan bantuan bagi raja (Wijaya) pada saat beliau masih belum menjadi raja, dan bernama kecil Nararyya Sanggramawijaya, pada waktu beliau sampai di desa Kudadu karena dikejar musuh (Jayakatwang).


Baginda sampai mengalami kejadian demikian itu karena dahulu raja Kertanegara yang telah wafat di alam Siwa-Buda (dicandikan di Singosari) gugur karena serangan raja Jayakatwang (Jayakatyeng, Kitab Pararaton menyebutnya dengan nama Aji Katong) dari Gelang-Gelang (Kadiri), yang berlaku sebagai musuh, menjalankan hal yang amat tercela, menghianati sahabat dan mengingkari janji, hendak membinasakan raja Kertanegara di Tumapel (Singhasari).

Pada waktu pasukan Jayakatwang terdeteksi telah sampai di desa Jasun Wungkal, Wijaya dan Sang Arddharaja (anak Jayakatwang yang telah dipercaya oleh Kertanegara) diperintahkan oleh raja Kertanegara untuk menghadapinya. Setelah Wijaya dan Arddharaja berangkat dari Tumapel (Singhasari) dan telah sampai di desa Kedung Peluk, di situlah pertama kali pasukan Wijaya bertemu dengan musuh, bertempurlah pasukan Wijaya dan musuh dapat dikalahkan, serta melarikan diri dengan tidak terhitung jumlah pasukannya yang gugur. Majulah pasukan Wijaya ke desa Lembah, tidak ada musuh yang dijumpai karena semuanya telah mundur tanpa memberikan perlawanan. Pasukan Wijayapun maju terus, melewati Batang, dan sampai di desa Kapulungan. Di sebelah Barat desa Kapulungan itulah pasukan Wijaya bertemu dan bertempur kembali dengan musuh, musuh dapat dikalahkan, melarikan diri dengan menderita banyak kerusakan. Pasukan Wijaya bergerak maju terus dan sampai di desa Rabut Carat. Dan ketika sedang beristirahat datanglah musuh dari sebelah Barat, maka berperanglah pasukan Wijaya dengan mengerahkan kekuatan penuh, musuh dapat dikalahkan serta melarikan diri dengan  kehilangan banyak anggota pasukan. Sepertinya musuh telah habis dan mengundurkan diri. Tetapi pada saat yang bersamaan terlihatlah panji-panji musuh berkibaran di sebelah Timur desa Haniru, merah dan putih warnanya (' .... ring samangkana, hana ta tunggulning satru layu-layu katon wetaning Haniru, bang lawan putih warnnanya ...,' Prof. M. Yamin menafsirkan panji-panji pasukan Kadiri itu berwarna merah-putih). Melihat panji-panji itu bubarlah pasukan Sang Arddharaja, melakukan penghianatan, lari tanpa sebab menuju ke Kapulungan, itulah permulaan rusaknya pasukan Wijaya.

Selanjutnya silahkan baca di sini

TRIBHUWANOTTUNGGADEWI

Raja Jayanegara tidak berputera, maka sepeninggalnya pada tahun 1328, beliau digantikan oleh adik perempuannya yaitu Bhre Kahuripan yang dinobatkan menjadi raja Majapahit dengan gelar abhiseka Tribhuwanottunggadewi Jayawisnuwarddhani. Beliau menikah dengan Cakradhara atau Cakreswara yang menjadi raja di Singhasari (Bhre Singhasari) dengan gelar Kertawarddhana. Adik Tribhuwana yang menjadi Bhre Daha dengan nama Rajadewi Maharajasa kawin dengan Kudamerta yang menjadi Bhre Wengker dengan nama Wijayarajasa.


Dari kakawin Negarakertagama kita mengetahui bahwa dalam masa pemerintahan Tribhuwana telah terjadi pemberontakan di Sadeng dan Keta pada tahun 1331. Pemberontakan itu dapat dipadamkan oleh Gajah Mada. Kitab Pararaton memberikan versi yang panjang lebar tentang peristiwa Sading itu. Arya Tadah yang waktu itu menjabat Patih Amangkubhumi di Majapahit sedang jatuh sakit. Ia meminta kepada Gajah Mada supaya mau dicalonkan sebagai Patih Amangkubhumi menggantikan dirinya. Gajah Mada tidak mau sebelum ia kembali dari Sadeng untuk menumpas pemberontakan. Maka berangkatlah ia ke Sadeng, tetapi telah kedahuluan oleh Kembar. Ia memerintahkan para mantri untuk menundukkan Kembar, tetapi Kembar membangkang. Akhirnya pemberontakan itu dapat dipadamkan setelah baginda raja turun tangan sendiri, kemudian Gajah Mada diangkat menjadi Patih Amangkubhumi.

Keterangan lebih lanjut silahkan baca di sini.

SRI RAJASANAGARA (HAYAM WURUK)

Pada tahun 1350 putra mahkota Hayam Wuruk dinobatkan menjadi raja Majapahit dan bergelar Sri Rajasanagara dan dikenal pula dengan nama Bhra Hyang Wekasing Sukha. Ketika ibunya Tribhuwanottunggadewi masih memerintah, Hayam Wuruk telah dinobatkan menjadi raja muda (kumararaja) dan mendapatkan daerah Jiwana sebagai daerah lungguhnya. Dalam menjalankan pemerintahannya Hayam Wuruk didampingi Mahapatih Gajah Mada yang menduduki jabatan Patih Hamangkubhumi. Jabatan ini sebenarnya telah diperoleh Gajah Mada ketika ia mengabdi kepada raja Tribhuwanottunggadewi, yaitu setelah ia berhasil menumpas pemberontakan di Sadeng.


Dengan bantuan patih Gajah Mada raja Hayam Wuruk berhasil membawa kerajaan Majapahit ke puncak kebesarannya. Seperti halnya raja Singhasari Kertanegara yang memiliki gagasan politik perluasan cakrawala mandala yang meliputi seluruh dwipantara, Gajah Mada ingin pula melaksanakan gagasan politik Nusantara-nya, sebagaimana yang telah dicetuskannya dalam Sumpah Palapa di hadapan Tribhuwanottunggadewi dan para pembesar kerajaan Majapahit waktu itu.


Dalam rangka menjalankan politik Nusantaranya itu satu demi satu daerah-daerah yang belum bernaung di bawah panji-panji kekuasaan Majapahit akan ditundukkan dan dipersatukannya. Dari pemberitaan Prapanca dalam kakawin Negarakertagama kita mendapatkan informasi tentang daerah-daerah yang berada di bawah kekuasaan Majapahit itu ternyata sangat luas. Daerah-daerah ini meliputi hampir seluas wilayah Indonesia sekarang ini, meliputi daerah-daerah di Sumatera bagian Barat sampai ke daerah-daerah Maluku dan Irian di bagian Timur ; bahkan pengaruh itu telah diperluas pula sampai kebeberapa negara tetangga di wilayah Asia Tenggara. Agaknya politik Nusantara ini berakhir pada tahun 1357 M dengan terjadinya peristiwa di Bubat (pasundan-bubat), yaitu perang antara orang-orang Sunda dengan Majapahit.
Untuk lebih jelasnya silahkan baca di sini.

KERETA KERAJAAN MAJAPAHIT

Majapahit. Mengenai kereta kerajaan Majapahit ini kakawin Negarakertagama, utamanya dalam pupuh XVIII menyebutkan beberapa bentuk kereta, mulai dari pedati, kereta Patih Amangkubhumi, kereta Sri Nata Pajang, kereta Sri Nata Lasem, kereta Sri Nata Daha, kereta Sri Nata Jiwana, kereta Sri Nata Wilwatikta serta kereta berwarna merah untuk para wanita. Masing-masing kereta tersebut memiliki ciri khas yang berbeda-beda.

Kereta Patih Amangkubhumi memiliki aneka tanda, kereta Sri Nata Pajang bergambar matahari, kereta Sri Nata Lasem bergambar banteng putih, kereta Sri Nata Daha bergambar dahakusuma (mas mengkilat), kereta Sri Nata Jiwana berhias bergas, kereta Sri Nata Wilwatikta (raja Majapahit) bergambar buah maja, beratap kain geringsing, berhias lukisan mas, bersinar merah indah.

Pupuh ini tidak menjelaskan secara lebih detil mengenai bentuk kereta kerajaan Majapahit, hanya dijelaskan bahwa kereta Sri Nata Wilwatikta (raja Majapahit) bergambar buah maja, beratap kain geringsing, berwarna merah berhias lukisan emas. Kiranya gambar di bawah ini dapat sedikit menunjukkan kepada kita mengenai bentuk kereta kerajaan tersebut walaupun mungkin tidak sepenuhnya benar.



Arca atau patung berbentuk kereta tersebut di atas diketemukan di kawasan alun-alun Singosari pada tahun 1910, namun saat ini tidak diketahui secara pasti dimana tempat penyimpanannya.

Demikianlah sekilas pintas tentang kereta kerajaan Majapahit, semoga bermanfaat.

MELURUSKAN SEJARAH MAJAPAHIT ? BOHONG !!!! (1)

"Meluruskan Sejarah Majapahit" adalah sebuah buku tulisan Irawan Djoko Nugroho, infonya dapat di lihat di sini : http://www.facebook.com/topic.php?uid=78845515468&topic=12527 (facebook) dan di sini : http://catalogue.nla.gov.au/Record/4767070 (katalog buku). Sang penulis mengaku alumnus Universitas Gajah Mada, Jogyakarta jurusan/fakultas Filologi.

Beberapa hal yang tertulis di dalam buku karangan beliau (Meluruskan Sejarah Majapahit) adalah tidak benar alias salah kaprah. Alih-alih 'meluruskan sejarah Majapahit' tetapi pada faktanya malah "Membelokkan Sejarah Majapahit". Artikel atau tulisan ini akan membahas pembelokan-pembelokan tersebut secara bersambung atau berkelanjutan.

Pembelokan pertama disebutkan bahwa Gajah Mada (sebagai mahapatih Majapahit) ternyata ada dua orang, yang pertama hidup pada masa pemerintahan Tribhuwanatunggadewi/Hayam Wuruk dan yang kedua hidup pada masa pemerintahan Brawijaya V. Selanjutnya dikatakan bahwa Gajah Mada yang berhasil mempersatukan Nusantara adalah Gajah Mada yang ke-2, yang hidup pada masa pemerintahan Brawijaya V.