PENYESATAN MAJAPAHIT VERSI BRAHMARAJA XI (1)

Sejarah Majapahit banyak disesatkan, sejarah Majapahit dibelak-belok demi kepentingan pribadi, akhirnya sejarah Majapahit membingungkan generasi muda.

"Yang Maha Mencipta, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Mengakhiri ... sujudku setunduk-tunduknya, semoga sirna segala rintangan."

Tertulislah sebuah artikel yang berjudul "Sejarah Ibu Majapahit Nusantara" yang termuat dalam  : Blog www.majapahit-masakini.co.cc atau tepatnya dalam artikel ini

http://www.majapahit-masakini.co.cc/2009/04/sejarah-ibu-majapahit-nusantara.html

Kutipan artikelnya
 


Dituliskan bahwa : Pada tahun Isaka 1203 (1281 M) dari negeri Cina datang dua orang putri Raja Ming / Miao Li (yang dikenal dengan Mauliwarma Dewa) keturunan Thong (Raja Miao Ciang) / Raja Li, Kerajaan Ming artinya Sinar / Surya,wilayah Cina waktu itu / Campa / Melayu (sekarang Malaya) Singapura atau Tumasek hingga laut Cina Selatan (Nan Hay). ................, kedua putri tersebut adalah “ Dara Jingga “ dan adiknya “ Dara Petak ” (Putih), kedatangan Putri Cina ini pada jaman Kerajaan Singhasari yaitu pada masa pemerintahan Sri Kerthanegara / Bathara Siwa tahun isaka 1190-1214 atau tahun (1268-1292 Masehi). Putri Dara Petak bergelar “ Maheswari ” diperistri oleh Sri Jayabaya atau Prabu Brawijaya I / Bhre Wijaya / Raden Wijaya , Raja Madjapahit pertama yang juga bergelar “ Sri Kertha Rajasa Jaya Wisnu Wardana ” pada tahun isaka 1216-1231 atau tahun (1294-1309 Masehi) yang selanjutnya menurunkan Prethi Santana / keturunan bernama “ Kala Gemet ” yang menjadi Raja Madjapahit kedua pada tahun 1309-1328 M, yang bergelar “ Jaya Negara ”. Sedangkan Putri Dara Jingga yang bergelar ‘’ Indreswari’’ atau Li Yu Lan atau Sri Tinuhanengpura (yang dituakan di Pura Singosari dan Madjapahit) diperistri oleh Sri Jayasabha yang bergelar “ Sri Wilatikta Brahmaraja I ” atau “ Hyang Wisesa “  

Dari petikan artikel tersebut dapatlah ditarik beberapa kesimpulan, pertama : Dara Jingga dan Dara Petak adalah dua orang puteri Raja Ming / Miao Li (dikenal sebagai Mauliwarmadewa) keturunan Thong (Raja Miao Ciang). Hal ini adalah merupakan suatu kesalahan besar dan sangat terlihat dibuat-buat atau orang Jawa mengatakan kotak-katik-gathuk (menghubungkan sesuatu tanpa referensi yang jelas).

Baiklah kita tinjau tulisan Prof. Dr. Slametmulyana, dalam bukunya "Negarakertagama dan Tafsir sejarahnya", terbitan Bhratara Karya Aksara,  Jakarta, 1979, halaman124, paragraf kedua, sebagai berikut  

"Kidung Panji Wijayakrama mengisahkan bahwa sepuluh hari sesudah pengusiran tentara Tartar, Mahisa Anabrang, yang memimpin ekpedisi ke Melayu (Pamalayu, -penulis-) pada tahun 1275, pulang membawa dua orang puteri bernama Dara Jingga dan Dara Petak. Tentang Dara Petak dikatakan sang anwam inapti artinya yang muda diperistri (oleh baginda). Tentang Dyah Dara Jingga dikatakan sira alaki dewa artinya ia kawin dengan orang yang bergelar (Mauliwarma) dewa".
Baginda dalam uraian diatas adalah Sanggramawijaya atau para ahli sejarah menulisnya dengan nama Raden Wijaya.

Pertanyaan yang muncul adalah : "Kapan terjadinya pengusiran tentara Tartar tersebut ?". Mari kita lihat uraian dalam buku yang sama pada halaman 118, paragraf kedua yang menjelaskan sebagai berikut  :

"......pada tanggal 19 April pengawal-pengawal itu mati terbunuh, bahkan tentara Majapahit di bawah pimpinan Raden Wijaya mendadak menyerang tentara Tartar lainnya yang sedang berkubu di Daha dan Canggu mabuk-mabuk mengadakan pesta kemenangan. Tentara Tartar mundur ke laut dalam kejaran orang Majapahit dan berlayar kembali pada tanggal 24 April 1293, kehilangan tiga ribu prajurit."

Dari uraian kedua penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kedatangan Dara Jingga dan Dara Petak ke Majapahit tersebut terjadi pada sekitar bulan Mei 1293 M, dan bukan pada tahun 1281 M sebagai yang ditulis dalam artikel 'Sejarah Ibu Majapahit Nusantara' (www.majapahit-masakini.co.cc) tersebut.

Lebih parah lagi disebutkan bahwa : Putri Dara Jingga yang bergelar ‘’ Indreswari’’ atau Li Yu Lan atau Sri Tinuhanengpura (yang dituakan di Pura Singosari dan Madjapahit) diperistri oleh Sri Jayasabha yang bergelar “ Sri Wilatikta Brahmaraja I ” atau “ Hyang Wisesa “
Tentang Dyah Dara Jingga dikatakan sebagai sira alaki dewa yang artinya kawin dengan seorang yang bergelar Mauliwarmadewa, dengan demikian Mauliwarmadewa adalah suami Dyah Dara Jingga, dan BUKAN ayah dari Dara Jingga dan Dara Petak sebagai yang diuraikan dalam artikel tersebut (Sejarah Ibu Majapahit Nusantara). Selanjutnya suami Dara Jingga adalah Mauliwarmadewa dan bukan Sri Wilatikta Brahmaraja I atau yang disebut Sri Jayasabha/Hyang Wisesa.

Selanjutnya dituliskan "Putri Dara Petak bergelar “ Maheswari ” diperistri oleh Sri Jayabaya atau Prabu Brawijaya I / Bhre Wijaya / Raden Wijaya , Raja Madjapahit pertama yang juga bergelar “ Sri Kertha Rajasa Jaya Wisnu Wardana . Salah kaprah, sekali lagi saya katakan salah kaprah ...., begini, Sri Jayabaya dan Bhre Wijaya (Sanggramawijaya, pendiri sekaligus raja pertama Majapahit) berasal dari kurun waktu yang berbeda, hal mana Sri Jayabaya (Sri Aji Jayabaya) berasal dari kerajaan Kadhiri (yang dikalahkan oleh Ken Arok dari Singosari) sedangkan Sanggramawijaya adalah pendiri kerajaan Majapahit (yang nota bene merupakan kelanjutan dari kerajaan Singosari). Lebih penting lagi Sanggramawijaya tidak bergelar Prabu Brawijaya I melainkan bergelar Kertarajasa Jayawardhana.



Saya tidak tahu dan sama sekali serta tidak mengerti referensi apa yang dipakai untuk menuliskan tulisan tersebut. Terlihat jelas ke-ngawuran Brahmaraja XI dalam hal ini. Dia mengaku sebagai raja Majapahit-Bali, tetapi sama sekali tidak mengerti jalannya sejarah kerajaan Majapahit. Bagaimana mungkin seorang raja tidak tahu sejarah kerajaannya sendiri ?. Suatu hal yang menggelikan bukan ? Lucu sekali  !!!!

Dalam referensi sejarah Majapahit tidak ada istilah Sri Tinuhanengpura yang ada adalah Stri Tinuheng Pura (lihat Kidung Panji Wijayakrama pupuh VII/147-150, lihat juga Pararaton hal. 10 baris 27-36) yang artinya isteri yang dipertua di istana. Maksud  istilah "dipertua di istana" tidak berarti lantas dia menjadi ibu Majapahit, terbukti kakawin Negarakertagama (yang telah diakui sebagai memori dunia) tidak pernah menyebutkan Dara Petak ini sebagai parameswari dan hanya menyebutnya sebagai Indreswari atau dapat dikatakan sebagai selir. Dengan demikian sebutan Dara Petak adalah Indreswari dan bukan Maheswari (lihat kakawin Negarakertagama pupuh XLVII/2).

Selanjutnya di dalam referensi sejarah kerajaan Majapahit tidak pernah ada raja yang bergelar Sri Wilatikta Brahmaraja .... Dan bila dianalogikan sebagai suami Dara Petak, maka beliau adalah Sri Narapati Kretarajasa Jayawardhana (nama gelaran) sebagai yang diuraikan dalam kakawin Negarakertagama pupuh XLV sampai dengan pupuh XLVII. Nama aslinya adalah Nararya Sanggramawijaya atau yang biasa disebut Raden Wijaya. Lebih jauh lagi di dalam berbagai prasasti yang dikeluarkan oleh beliaupun tidak pernah menyebut gelaran Sri Wilatikta Brahmaraja ....

Kesimpulannya : apa yang dibuat atau ditulis dalam artikel "Sejarah Ibu Majapahit Nusantara" (www.majapahit-masakini.co.cc) dapat dikategorikan sebagai suatu kebohongan-sejarah.

Penulis : J.B. Tjondro Purnomo ,SH.

Bersambung ...................ke bagian kedua

PENYESATAN MAJAPAHIT VERSI BRAHMARAJA XI (1) 9 Out Of 10 Based On 10 Ratings. 9 User Reviews.
Share 'PENYESATAN MAJAPAHIT VERSI BRAHMARAJA XI (1)' On ...

Ditulis oleh: Unknown - Sabtu, 04 Juni 2011

3 komentar untuk "PENYESATAN MAJAPAHIT VERSI BRAHMARAJA XI (1)"

  1. Wah ... wah ..., penyesatan macam apalagi ini ?
    Yang namanya Ibu Majapahit pastilah berstatus "Parameswari" pendiri/raja pertama Majapahit. Kenapa bisa berbelak-belok toh ?

    BalasHapus
  2. Waduh ini apalagi ... ? Kok bisa-bisanya Dara Petak dan Dara Jingga dikaitkan-kaitkan dengan puteri Cina toh ? Dari mana nalarnya ? Dara Petak dan Dara Jingga jelas-jelas puteri hasil ekspedisi Pamalayu (1275 M) yang dikirim oleh Kertanegara ke Swarnabhumi (Sumatera).

    BalasHapus
  3. Yang sudah baca artikel ini aja masih bingung apalagi yang belum pernah baca, seharusnya sejarah itu harus ditulis dengan benar, kalau tidak tahu dasar yang kuat jangan menulis buku, akibatnya membohongi generasi kita.....coba kalau tidak ada artikel ini, bisa bisa kita akan jauh tersesat dalam kebohongan sejarah, thanks bpk penulis artikel ini...mantap

    BalasHapus

Tuliskan komentar anda yang sesuai dengan isi artikel di atas demi persahabatan sesama anak bangsa, namun jangan sekali-kali melakukan spam atau menempatkan link aktif pada komentar anda. Terima kasih.