ASPEK BUDAYA MAJAPAHIT (2)

CERITA WAYANG SEBAGAI HIASAN RELIEF

Pada jaman Singasari candi Jago adalah satu-satunya candi yang dihias dengan cerita dari Mahabarata, cerita itu jelas tidak memiliki hubungan langsung dengan sifat keagamaan candi tetapi mempunyai hubungan langsung dengan kehidupan raja yang dicandikan di situ. Timbulnya gagasan untuk memilih cerita demikian sebagai hiasan candi kiranya berkat kepopuleran cerita-cerita dari epik Mahabarata dan Ramayana, terutama pada jaman Kediri.

Pada jaman Majapahit terdapat dua candi yang dihias dengan relief cerita wayang dari Mahabarata, yakni candi Tigawangi dibangun oleh Rajasawardhana pada tahun 1358 M dan candi Sukuh di kaki gunung Lawu dibangun pada tahun 1439 M, kedua-duanya mempergunakan releif Sudamala.
Di dalam pewayangan, cerita Sudamala biasa dipergunakan untuk meruwat, misalnya untuk melepaskan anak malang dari bencana akibat kelahirannya dengan tebusan upacara keagamaan. Mungkin sekali pembangunan candi Tigawangi dengan hiasan cerita Sudamala itu juga dimaksudkan untuk meruwat Negarawardhani puteri tunggal Rajasawardhana dalam perkawinannya dengan Bhre Lasem. Menurut kepercayaan anak tunggal harus diruwat demi keselamatannya. Sudamala adalah cerita tentang pelepasan bhatari Durga dari perwujudannya sebagai raksasi oleh Sadewa, si bungsu dari Pandawa. Ceritanya begini  :


Dewi Uma, sakti Dewa Siwa kena umpat Dewa Siwa karena berkasih-kasihan dengan Dewa Brahma, ia diusir dari kahyangan dan hidup sebagai raksasi bernama Ra Nini di kuburan Gandamayu bersama dengan pengikutnya Ni Kalika selama dua belas tahun untuk menebus dosanya. Dewa Siwa berjanji bahwa pada akhir waktu pembbuangan itu Sahadewa, si bungsu dari Pandawa Lima adalah satu-satunya yang dapat melepaskan Ra Nini dari perwujudannya yang sangat nista. Kira-kira pada waktu yang sama dua dewa juga kena umpat dan turun ke dunia sebagai raksasa Kalantaka dan Kalanjaya. Mereka berdua mengabdi kepada raja Duryudhana di Hastinapura. Berkat kedewaannya, mereka terlalu sakti, tidak dapat dikalahkan oleh siapapun.

Mendengar berita yang demikian itu, Dewi Kunti, ibu Pandawa terlalu sedih, yakin bahwa perjuangan Pandawa untuk merebut kembali negara Hastinapura akan sia-sia belaka. Oleh karena itu ia pergi ke kuburan Gandamayu mohon bantuan kepada Ra Nini. Ketika Ra Nini melihat Dewi Kunti, segera teringat kepada janji Dewa Siwa dan mendesak Dewi Kunti untuk menyerahkan Sahadewa untuk dijadikan sajian. Dewi Kunti berkeberatan, baru setelah dimasuki Ni Kalika, Dewi Kunti setuju dan pulang mengambil Sahadewa. Setibanya kembali di kuburan Gandamayu, Sahadewa diserahkan kepada Ra Nini dan diikat pada pohon kapok, dijaga oleh punakawan Semar. Segera Ra Nini mendesak agar Sahadewa segera melepaskannya dari hukuman, namun Sahadewa menolak, dengan alasan bahwa ia tidak memiliki kemampuan apa-apa. Betapapun hebatnya ancaman Ra Nini, Sahadewa tetap menolak, bahkan malah menyerah agar segera di bunuh saja.

Pada saat itu Dewa Siwa masuk ke dalam tubuh Sahadewa dan memberi perintah kepada Ra Nini supaya tenang dan berdiri tegak, mengarahkan pandangannya kepada Sahadewa dan mendengarkan kata-kata yang akan diucapkannya. Sahadewa bersamadhi, lalu mengucapkan mantra sambil tangannya memercikkan air suci (tirta amertha) dan manaburkan butir-butir beras kuning bercampur dengan bunga-bungaan ke atas kepala Ra Nini. Berkat mantra dan upacara itu maka Ra Nini sedikit demi sedikit berubah, akhirnya yang nampak berdiri di mukanya ialah Dewi Uma, cantik seperti sediakala, kuburan Gandamayu berubah menjadi taman yang indah dengan pohon-pohon kapok yang sedang meriah berbunga. Dewi Uma mengucap syukur dan sebagai tanda terima kasih Sahadewa dihadiahi nama baru Sudamala, artinya penolong, penyembuh atau pembebas, lalu Dewi Uma kembali ke kahyangan. Ni Kalika tinggal di dunia sebagai penjaga taman karena masih harus menjalani masa pembuangan.

Selanjutnya, atas petunjuk Ni Kalika, Sudamala berjalan menuju desa Prangalas tempat bertapa pendeta Tambrapetra, diiringkan oleh punakawan Semar. Di desa Prangalas, Sudamala dikawinkan dengan kedua puteri pendeta Tambrapetra yang bernama Ni Soka dan Ni Padapa. Semar minta dikawinkan dengan Ni Towok, inang Ni Padapa. Sementara itu Nakula datang ke desa Prangalas mencari adiknya Sahadewa. Ni Soka diserahkan oleh Sahadewa kepada Nakula supaya diperistri. Kemuadian di kembar Nakula dan Sahadewa pulang ke Indraprasta, yang sedang dilanda bencana, diserang oleh bala tentara Korawa yang dipimpin oleh raksasa Kalantaka dan Kalanjaya. Dalam peperangan itu para Pandawa kalah, hanya berkat kedatangan Sahadewa maka raksasa Kalantaka dan Kalanjaya dapat dimusnahkan, ditusuk dengan parang (badama). Raksasa Kalantaka dan Kalanjaya berubah rupa menjadi dewa dan kembali ke kahyangan.

Hiasan relief candi Tigowangi mirip sekali dengan hiasan relief candi Sukuh, memberikan kesan yang kuat bahwa kedua hiasan relief tersebut bersumber pada satu naskah yang sama. Naskah Sudamala kiranya telah ada sejak tahun 1358, ketika candi Tigawangi itu dibangun, namun tidak banyak dikenal. Oleh karena itu naskah Sudamala yang ada sekarang, yang dikatakan sebagai karya Pu Putut alias Citragotra dari Banyuwangi, kiranya hanyalah sebuah salinan naskah yang digunakan sebagai sumber hiasan relief pada candi Tigawangi dan candi Sukuh. Sebagai karya sastera, naskah Sudamala tidak bermutu tinggi, oleh karena itu tidak mendapat perhatian di lingkungan para pujangga pada jaman kerajaan Majapahit.

ASPEK BUDAYA MAJAPAHIT (2) 9 Out Of 10 Based On 10 Ratings. 9 User Reviews.
Share 'ASPEK BUDAYA MAJAPAHIT (2)' On ...

Ditulis oleh: Unknown - Minggu, 24 April 2011

Belum ada komentar untuk "ASPEK BUDAYA MAJAPAHIT (2)"

Posting Komentar

Tuliskan komentar anda yang sesuai dengan isi artikel di atas demi persahabatan sesama anak bangsa, namun jangan sekali-kali melakukan spam atau menempatkan link aktif pada komentar anda. Terima kasih.